Dalam pergaulan sosial budaya, memang alas kaki berupa sandal dan sepatu juga mengambil peran dalam menentukan kelas, level, tinggi atau rendahnya status sosial. Di satu waktu saat kita menghadiri undangan resmi dari pejabat di sebuah kantor atau hotel atau hall yang megah. Lalu kita datang dengan memakai kaos oblong dan memakai sandal, parahnya sandal jepit pula. Maka petugas keamanan atau mereka yang bertugas di depan memastikan bahwa yang datang adalah yang benar-benar diundang, pasti tidak akan mempersilahkan kita masuk bahkan mengusir kita untuk meninggalkan tempat acara. Atau lebih untungnya, kita dipinjami baju dan sepatu untuk dipakai lalu dipersilahkan masuk. Mereka yang bersepatu mahal pasti adalah mereka yang bekerja di perusahaan besar atau sebagai pejabat pemerintahan. Sehingga tidak berkhayal kiranya, jika alas kaki sangat menentukan status sosial.

Manusia modern memang lucu. Padahal dari segi kesehatan justru telanjang kaki atau nyeker lebih bagus dari pada memakai alas kaki. Ilmu kedokteran modern sudah lama tahu kalau orang berjalan kaki tanpa alas itu jauh lebih sehat dibanding memakai alas kaki. Ada titik-titik kunci kesehatan di telapak kaki yang perlu disilaturrahmikan dan dipersentuhkan dengan kerikil sesering mungkin. Kalau pakai sandal, sepatu bahkan sepatu hak tinggi , maka peredaran darah kurang dirangsang. Baik peredarah darah di tubuh, maupun peredaran moral, kesopanan dalam ranah mental ruhani.

Budaya yang telah dibentuk bahwa dengan memakai sandal dan sepatu dianggap sebagai manusia yang berkelas dan elite otomatis membuat si pemakainya sulit mengontrol diri dari rasa bangga hingga kepada angkuh dan sombong. Apalagi di zaman modern dan serba kapitalistik ini. Sandal pun sama sepatu juga beda kelas. Kaos sama kemeja berjas juga beda kelas. Kostum bisa menjadi simbol status sosial juga kesopanan atau etika.

Baiklah kalau acuannya untuk menyesuaikan tempat dan lingkungan atau istilah jawanya empan papan. Cuma, siapa yang berhak menentukan papan? Siapa yang punya otoritas bikin aturan main etika dan sopan santun?. Padahal sebenarnya kita kan lebih suka menerima tamu yang cekeran yang bermaksud baik daripada tamu yang bersepatu berdasi, tetapi bermaksud jahat.

Kiai saja tidak pernah pakai sepatu tetap diterima di mana-mana. Jika persoalan alas kaki dijadikan sebagai ukuran kesopanan, maka seorang pencuri, mafia dan koruptor tidak akan terlihat niat jahatnya saat memakai sepatu berdasi dan berjas rapi. Saat seorang yang jenius bisa bergelar profesor atau hanya lulusan pesantren namun jeniusnya minta ampun seperti Gus Baha datang ke sebuah acara seminar atau konferensi resmi atau acara keilmuan. Peserta seminar bahkan panitianya tidak mungkin menanyakan apakah Gus Baha, atau profesor A, doktor B, ustadz C memakai sandal atau sepatu atau terompah. Tetapi yang ditanyakan dan yang diperhitungkan adalah gagasan yang akan beliau-beliau kemukakan dalam forum.

Jika soal sandal, sepatu dan bentuk alas kaki yang lain jadi soal keangkuhan dan kesombongan. Walau tidak nampak secara fisik, namun bergumuruh di dalam hati. Maka melepas alas kaki, lalu nyeker saja akan terasa lebih nyaman, dan hati terbebas dari gemuruh klaim status sosial. Maka seorang ulama besar, beliau Imam Syafi’i saat memasuki kota Madinah, di mana terdapat Maqam Baginda Rasulullah Saw. Beliau baru memulai masuk dan menginjakkan kaki di Kota Madinah, di ujung perbatasan sudah melepas alas kakinya dan memilih nyeker. Lalu dibawalah sandal atau sepatu beliau, namun kaki berjalan menuju tempat tujuan dari ujung perbatasan Kota Madinah tanpa alas kaki/nyeker. Jika sandal adalah simbol penghalang dari ketawadlu’an, maka nyeker mawon pun (telanjang kaki sajalah).

Maka tidak hanya berupa sandal, sepatu dan alas kaki yang lain. Namun segala sesuatu yang berpotensi bercokolnya rasa “aku”, rasa angkuh dan rasa sombong bahkan perasaan “rumongso” tidak sopan, harus ditanggalkan, harus dilepas dan harus tidak dipakai. Jika letaknya dalam gelar, lepaslah gelar itu. Jika letaknya pada nasab, berusaha untuk tidak bergantung padanya, bahkan menghapus rasa bangga. Jika letaknya pada pakaian, seragam dinas atau pakaian keagungan yang lain, maka lepaslah dan memakai baju-baju kerendahan. Secara hakikat bukan berarti harus melepas secara fisik. Namun melepas terhadap kelekatan secara ruhaniah-bathiniah, mental-spiritual. Jika memang harus memakai baju dinas secara fisik, namun bathiniah dan mentalnya merasa tidak memakai baju dinas, hanya memakai baju babu. Karena pada dasarnya babu atas rakyat dan pastinya babu atas Tuhan.

Jumudnya pola-pola protokoler yang kaku, bisa merangsang munculnya orang-orang seperti Nashrudin Hoja. Saat ia diundang dinner di kerajaan, ia hanya memakai pakaian ala kadarnya, karena memang hanya itu yang ia punya. Akhirnya ia ditolak oleh petugas keamanan kerajaan dan tidak diperbolehkan masuk ruangan sebab pakaiannya yang lusuh dan buluk. Lantas, ia mencari pinjaman baju yang layak dan segera dikenakannya baju itu. Kemudian ia diperkenankan masuk ruangan. Sesudah ia duduk di antara hadirin lainnya dan dijamu oleh hidangan yang super mewah. Maka tiba-tiba ia melepas bajunya dan ditaruh baju itu di hadapan hidangan yang tersaji di meja, sambil berkata, “Tuanku yang bernama “baju”, silahkan makan sajian ini, sebab yang diterima di acara ini adalah anda tuan, bukan saya….”. Kemudian ia lari pulang hanya pakai cawat.

Oleh : Agus Novel Mukholis (Guru MAN 2 Banyuwangi)

Tulisan ini sudah di muat/ di terbitkan di radar banyuwangi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini