Saat masih kecil dan sering bercengkerama dengan orang-tua dalam dinamika kehidupan yang luar biasa, aku sama sekali tidak bisa menangkap sedikit pun konsep bahagia dalam wilayah materi dan keduniaan. Yang aku pahami dan rasakan mungkin hanya sekedar rasa yang nyaman, mungkin lebih tepatnya sebatas senang, lalu setelah beberapa waktu rasa itu kembali memudar dan kembali pada kondisi semula. Ibaratnya sama saat seharian menahan lapar dan dahaga di Ramadhan, lalu kumandang azan terdengar tanda dari diperbolehkannya makan dan minum kembali. Itu masuk dalam kategori “bahagia” atau sebatas “senang”. Mungkin tergantung level spiritual puasanya. Jika hanya pada level amatiran dan “elok-elok bawang”, mungkin rasa yang disangka “bahagia” itu hanya bisa bertahan sampai selesainya ritual buka puasa. Setelah makanan, minuman dan santapan lainnya habis untuk dinikmati, maka rasa itu pun juga sirna seiring habisnya rasa enak makanan. Itu masih “sangkaan” terhadap apa itu “bahagia”.

            Contoh lain bagi para perjaka, perawan, jomblowan-jomblowati yang menantikan “surga dunia” katanya. Mungkin letak konsep “bahagia” mereka ketika sudah menemukan jodoh, pasangan, kekasih, sigaring nyowo, dan apapun itu namanya. Lalu merasakan bagaimana menikah duduk di singgasana kemanten bagaikan raja dan ratu, itu pun hanya seharian. Setelah itu main-main, drama dan etok-etok-mane sebagai raja dan ratu di singgasana manten pun selesai. Kembali kepada realitas kehidupan yang keras. Kalau konsep “seks” mungkin yang dianggap “surga dunia”, maka itu pun sifatnya sangat temporer, limitatif, terbatas, sebentar, dan cepat hilang rasa “senang”nya jika telah usai dan selesai. Jika konsep “bahagia” disandarkan pada hal-hal tersebut, maka sifatnya tidak abadi, limitatif dan cepat hilang.

            Sebagai seorang anak ingin melakukan banyak hal untuk memastikan bahwa dua orang paling berjasa dalam hidup ini merasakan “bahagia”. Namun selalu salah sangka. Ibuku mempunyai makanan favorit yaitu martabak telur. Namun saat anaknya membelikan untuk beliau dan dihidangkan tepat di depannya. Kami melihat gestur, ekspresi, raut wajahnya tidak berbeda sama sekali saat beliau hanya makan nasi dan tempe goreng saja. Tidak seheboh yang kami bayangkan sebagai anak. Begitu pun juga dengan ayah kami. Saat kami pulang membawakan makanan lontong sayur yang dikenal dengan nama “sompel” dan kami hidangkan untuk didhahar beliau. Sama dengan gestur, ekspresi dan raut wajah dari ibu kami. Sama sekali tidak ada perbedaan ketika saat makan nasi putih dan garam saja.

            Jika kebahagiaan beliau terletak pada pencapaian prestasi kami saat masih sekolah, maka seharusnya beliau akan memeluk dan menciumi kami saat mengetahui kami mendapatkan peringkat satu, dan sebaliknya memarahi dan membantai kami dengan umpatan saat kami dapat nilai jelek. Namun yang kami temui bahwa perasaan dan kondisi batin beliau sama sekali tidak ada bedanya. Dan cenderung stabil dengan kondisi yang tenang, senang atau mungkin telah berada di posisi apa yang dinamakan “bahagia”.

            Kami sering dilatih untuk tirakat. Pagi saat berangkat sekolah hanya sarapan dengan sepotong singkong rebus yang dicocolkan pada sambel bawang. Saat sama sekali tidak ada lauk untuk dimakan, sudah menjadi hal yang biasa kami menyantap nasi dan daun singkong dengan tambahan sambel agar tidak terasa hambar. Dengan kondisi yang sangat terbatas dan kekurangan, orang-tua kami selalu mengusahakan agar biaya pendidikan anaknya tidak telat, walau konsekuensinya harus makan nasi dan garam saja setelah itu. Urusan perut bukan perkara yang sangat primer bagi keluarga kami. Asal masih bisa diisi dengan makanan, tidak harus mewah dan enak. Asal bisa untuk menambah energi dalam rangka meneruskan kehidupan dan ibadah kepada Tuhan yang memberikan rizki kepada kami.

            Dari pembiasaan tirakat oleh orang-tua kami, mungkin mereka ingin mengajarkan kepada kami bahwa bahagia itu bukan yang dirasa oleh inderawi, dan bukan terletak pada wujud-wujud materi. Mereka ingin kami merasakan rasa penasaran dan ingin tahu yang besar terhadap kemisteriusan konsep “bahagia”. Sehingga kami selalu dipacu untuk mengaji, belajar tentang agama. Karena dalam ajaran agama terdapat peta konsep yang jelas mengenai kehidupan termasuk tentang kebahagiaan. Dan bahwa ternyata dalam agama “bahagia” tidak bisa dipisahkan dengan “waspada”. Basyiiran wa Nadziiran, dua term itu bahasa Al Qur’an yang memetakan konsep kehidupan mengenai bahagia. Ada kabar baik, berita baik yang membahagiakan, namun dalam keadaan “bahagia” kita tetap harus ingat dengan peringatan yang membuat diri tetap waspada. Jangan sampai tergelincir dengan kelalaian.

            Itu pun masih sangat abstrak dan butuh pemetaan konkrit dalam semesta pikiran dan mental kita sebagai manusia yang terus-menerus membaca kehidupan. Namun ada sebagian manusia yang mencoba menggambarkan formula-formula penyusun bahagia, sehingga pada akhirnya melakukan survey sampai menemukan indeks kebahagiaan Indonesia. Survey tersebut mengindikasikan bahwa indeks kebahagiaan masyarakat di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hidup di pedesaan. Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) Tahun 2017. BPS mencatat Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017 mencapai 70,69 pada skala 0-100. Indeks Kebahagiaan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di perdesaan, yaitu 71,64 dibanding 69,57.

            Ya namanya juga usaha manusia dalam rangka pembacaan terhadap kehidupan. Namun angka-angka, data-data dan indeks tersebut telah menjadi padatan. Artinya, masih banyak terdapat kemungkinan-kemungkinan, variabel-variabel, warna-warni mozaik faktual internal yang masih luput dari potret ataupun penelitian. Jika kita mencoba untuk mengatakan bahwa variabel-variabel penyusun kebahagiaan itu adalah kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup. Namun tetap juga di sisi lain, wilayah lain, dimensi dan ruang lain masih menyisakan keghaiban, kemisteriusan, tanda tanya besar dan rahasia.

            Meminjam penjelasannya Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun, bahwa kebahagiaan itu merupakan lorong panjang, jalan tikus yang dimensi faktualnya tidak bisa diclose-up oleh hasil survey, hasil penelitian maupun pengukuran lain ciptaan manusia. Dalam penjelasan beliau, “dapat rejeki tida ratus ribu rupiah Alhamdulillah cukup, dapat rejeki dua ratus ribu ya cukup, seratus ribu mudah-mudahan cukup, lima puluh ribu ya dicukup-cukupkan”. Itu artinya bahwa basyiiran term dalam Al Qur’an tetap tidak bisa lepas dari nadziiran. Bahwa bahagia itu harus dan wajib bagi manusia dalam keadaan apapun bahkan ketika sedang dalam posisi mendapatkan peringatan atau nadziiran. Dan juga saat dalam posisi benar-benar bahagia karena suatu nikmat tetap tidak bisa meninggalkan kewaspadaan.

            Memang benar yang diucapkan sebagian orang kalau bahagia itu sederhana. Namun sangat jarang sekali yang bisa mencermati bahkan menyadari situasi mental mengapa bahagia itu sederhana. Padahal manusia sering menyandarkan ukuran kebahagiaan kepada pola rekayasa dan conditioning situasi eksternal. Ibarat peribahasa “rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau”. Makanya nenek moyang kita selalu kenyeh mengingatkan “urip iku sawang sinawang”. Maka sampai kapanpun kita tidak akan bisa mencapai pemahaman yang utuh atas konsep “bahagia” jika mental kita masih terusik dengan situasi eksternal. Maka sangat jelas jika para tetua, sesepuh dan orang tua kita selalu menasehati kita untuk fokus pada sangkan paraning dumadi. Ke Diri, ke Diri dan ke Diri. Makanya Cak Nun menyebutnya dengan istilah default kebahagiaan. Artinya Tuhan telah menganugerahkan standarisasi kebahagiaan atau malah lebih kepada akar yang menopang dan menumbuhkan pohon mental bagaimana kita memanage dan merespon situasi-situasi eksternal-internal yang merasuk dalam diri kita.

            Sederhananya, semakin kita fokus dalam meneliti diri kita dalam makna terdalam hingga relasi dengan Tuhan, maka kita akan menemukan konsep kehidupan yang berharga bahwa kebahagiaan itu jauh di dalam diri kita telah disediakan oleh Tuhan, tinggal kita mengaksesnya menggunakan segala perangkat yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Bahagia bukan terletak pada materi, kekuasaan, keduniawian, dan tidak perlu jauh-jauh dengan segala kerumitannya untuk mencari. Padahal kebahagiaan ada dekat dengan kita. Di dalam hati kita yang selalu bersambung dengan Tuhan. 

Oleh : Agus Novel Mukholis, S.Psi.I

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini