Ini dongeng adalah simbolisme yang dibuat oleh Sunan Kalijaga untuk dakwah melalui media wayang, jadi inti nilai yang terkandung dalam kisah ini tentang tasawuf, wushul kita kepada Allah atau ma’rifat billah, namun dikemas dalam kisah pewayangan serat Dewa Ruci.

              Kisah dimulai saat pandawa yang kedua yaitu Bima diberikan perintah oleh Gurunya yaitu Pandita Durna. Kalau dari dasanama atau nama lain, ada yang menyebut Bima, Werkudara atau Brontoseno. Bima ini adalah sosok yang lugu, tidak terlalu cerdas dan tidak terlalu kritis namun memiliki kekuatan fisik, ketahanan fisik dan mental yang luar biasa. Karena itu perintah gurunya, Bima pun tidak bisa menolaknya. Isi perintahnya adalah Bima diminta, diperintah dan dimandati untuk mencari air prawitosari. Tanpa pikir panjang dan atas dasar rasa tawadlu’nya pada sang guru, ia pun berangkat dengan semangat dan gagah perkasa dengan segala keberanian yang menjadi bekalnya.

              Ia menyusuri hutan yang bernama hutan Tibrasara dan hutan Reksomuko. Namanya juga hutan yang angker, tentu sangat tidak mudah melewati dan menyusurinya untuk mencari air prawitosari sesuai perintah gurunya. Namun di dua hutan itu ia tidak menemukan airnya, malah ketemu dengan dua raksasa yang mirip genderuwo yang sangat menyeramkan dan sakti tentunya. Dua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmala. Konon sang guru menyuruh Bima mencari air prawitosari itu hanyalah tipuan dari gurunya. Gurunya ingin tahu sekuat apa Bima itu. Gurunya punya asumsi bahwa Bima akan mati atau tewas di hutan itu dibunuh oleh dua raksasa yang sakti. Namun asumsi Durna salah besar. Bima yang dicegat oleh Rukmuka dan Rukmala itu pun malah menantang balik untuk diajak duel dan akhirnya Bima menang dan berhasil membunuh dua raksasa sakti itu.

              Karena di hutan itu ia tidak menemukan air prawitosari yang ia cari, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan hutan dan kembali ke tempat gurunya. Sesampainya di tempat pandito Durna, gurunya langsung kaget melihat Bima masih hidup dan kembali dalam keadaan utuh badannya. Tambah kaget saat mendengar cerita Bima yang berhasil membunuh dua raksasa sakti penjaga hutan. Karena Bima belum berhasil membawa air prawitosari yang diminta oleh gurunya, maka Durna pun menyuruh Bima mencarinya lagi di lautan tengah samudera. Itu pun jalan kaki tidak boleh naik kapal.

              Lalu jalanlah ia menuju samudera lautan dengan perjuangan yang luar biasa. Di tengah lautan ia bertemu dengan ular naga, namanya Naga Ambarnawa. Sama seperti dua raksasa di hutan tadi, Naga Ambarnawa itupun mencegat Bima dan ingin memangsanya. Bima pun melawan dan mengajak naga itu berduel. Pertarungan sengit pun tidak terhindarkan dan akhirnya Bima menang, tentunya berhasil membunuh naga ambarnawa. Namun Bima jengkel sambil bergumam, “lha ini mana air prawitosari yang dimaksud Guru Durna.”  Dia pun bingung hingga sampai akhirnya di pantai ia melihat anak kecil yang wujudnya sama persis dengan dirinya, namun sangat kecil. Jadi anak kecil itu lah Dewa Ruci. Terjadilah dialog panjang yang penuh filosofis, mirip dengan dialognya dengan Nabi Khidir.

              Hingga singkat cerita Dewa Ruci menyuruh Bima masuk ke dalam dirinya. Namun Bima bingung, bagaimana tubuhnya yang sangat besar itu bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil. Dewa Ruci tetap memaksa dan meyakinkan Bima. Dan akhirnya Bima masuk lewat telinga. Di dalam tubuh Dewa Ruci itulah Bima mendapatkan pengalaman-pengalaman spiritual yang luar biasa.

              Inilah simbolis-simbolis Sunan Kalijaga dalam menyampaikan nilai-nilai luhur Ke-Tuhanan. Sangat bijaksana melalui dongeng-dongeng kisah pewayangan, beliau menyelipkan nilai-nilai luhur tentang kehidupan, kemanusiaan dan KeTuhanan. Otomatis dengan strategi ini masyarakat Jawa, masyarakat Nusantara yang masih kental tradisi Hindunya, akan tertarik mengikuti, mendengarkan, menyimak kisah pewayangan yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga yang tujuan sebenarnya adalah dakwah.

              Ini sangat simbolis, bagi orang yang awam akan senang dan antusias mendengar kisah yang seru, ada pertempuran Bima dengan raksasa, dengan naga dan lain sebagainya. Nanti seiring bertambahnya ilmu dan wawasan orang-orang akan paham, “oohh… ini mungkin pelajaran dan nilai yang dimaksud Kanjeng Sunan dalam kisahnya Bima dan Dewa Ruci”. Jadi secara pelan-pelan dan sangat bijaksana dakwah yang dicontohkan oleh para Wali Songo. 

              Jika pemahamannya belum sampai ke arah itu, maka kisah dan dongeng itu ya hanya sekedar dongeng biasa saja. Namun seiring bertambahnya pemahaman akan kita dapatkan nilai-nilai yang mendalam dan sangat filosofis. Sangat luar biasa menyampaikan nilai ke-Tuhanan namun dikemas melalui pelestarian budaya dan kesenian. Sama seperti lagu “lir-ilir”, jika pemahaman kita belum mencapai ke level filosofis, lagu “lir-ilir” ya hanya sebatas lagu biasa saja, lagu hiburan untuk anak-anak.

              Inilah mengapa kita harus selalu mendeklarasikan diri untuk terus belajar. Karena pemahaman kita saat ini hanya sebatas jangkauan wawasan kita. Simbolisme kisah Dewa Ruci ya sebenarnya adalah simbolisme nilai manunggaling kawula Gusti, nilai ma’rifat dalam tasawuf. Air prawitosari dalam kisahnya itu ya simbol dari ilmu sejati atau ma’rifat itu sendiri. Jadi yang berusaha dicari oleh Bima dalam kisah di atas adalah ilmu sejati. Lalu hutan-hutan serta lautan itu simbolisme dari halangan-halangan, permasalahan-permasalahan dalam kehidupan yang perlu ditaklukkan. Rukmuka dan Rukmala dua raksasa penjaga hutan itu adalah simbolisme dari kamukten dan kamulyan. Dua hal itu adalah halangan utama bagi manusia dalam mencapai Tuhannya. Biasanya manusia sering berheni di situ. Kamukten itu adalah kekayaan materi, kalau kamulyan itu kekayaan spiritual atau status sosial. Manusia sering merasa jadi besar ketika sudah meraih keduanya itu. Sering terkecoh dan akhirnya mandeg, berhenti dan singgah di level itu saja. Artinya diri kita ibarat Werkudara tadi, kalah bertarung dengan Rukmuka dan Rukmala dan akhirnya diri kita yang dikuasainya. Merasa sudah puas, sudah cukup tujuan hidupnya ketika telah mencapai banyak uang, banyak harta, banyak tanah. Apalagi juga dimulyakan, dihormati, mempunyai status sosial yang tinggi di tengah masyarakat sehingga lupa sama Tuhannya, lupa sama tujuan awalnya dalam menempuh perjalanan hidup.

              Kemuktian dan kemulyaan ini menghalangi kita ketemu dengan Tuhan, karena kita merasa kaya, merasa dihormati, merasa lebih baik dari yang lain. Jadi itu semuanya harus ditaklukkan termasuk ular naga ambarnawa yang simbolisme dari nafsu. Jadi termasuk nafsu pun juga harus ditaklukkan. Raksasa dan naga itu harus ditaklukkan untuk kita ketemu dengan Dewa Ruci atau ilmu sejati.

              Dalam serat Dewa Ruci itu pun juga dijelaskan bekal-bekal yang dibawa Bima agar bisa menaklukkan raksasa dan naga yang merupakan simbolisme dari kamukten, kamulyan dan hawa nafsu. Kualitas-kualitas tersebut adalah: rilo/ridlo, legowo, nerimo, anuraga, eleng, santoso, gembiro, rahayu. Kedelapan kualitas diri itu harus dimiliki untuk bekal menaklukkan dua raksasa dan ular naga. 

              Rilo itu ridla dalam bahasa Arabnya. Atau serupa senada dengan ikhlas. Ikhlas itu di luar hasrat. Hanya Tuhan yang jadi awal dan akhirnya. Legowo itu “boleh apa saja terjadi tidak apa-apa”, “tidak memberati apapun”. Kehilangan apapun tidak apa-apa asalkan Allah tidak hilang darinya, Allah tidak meninggalkannya. Nerimo itu menerima. Atau dalam bahasa Arabnya Qana’ah. Dapat apa saja diterima, tidak menyesal juga tidak menuntu apa-apa. Ini berat karena kita manusia hari ini bisanya “menuntut”, susah untuk nerimo. Anuraga itu rendah hati, tidak sombong, tidak meng-aku-aku, tidak angkuh. Eleng itu ingat. Untuk bisa empat kualitas diatas harus eleng, jadi frekuensi kita harus nyambung terus sama Allah, selalu ingat sama Allah. Sentoso itu selalu berada di jalan yang benar. Sebenarnya jalan yang benar itu kita semua sudah tahu, tinggal mau konsisten apa tidak. Gembiro atau gembira. Untuk menuju ilmu sejati itu harus gembira, tidak boleh stres, bahkan depresi. Kita stres, galau, gelisah, kacau fikirannya karena banyak memasang keinginan dan akhirnya tidak terpenuhi. Lalu yang terakhir adalah rahayu. Rahayu itu adalah kesadaran hati untuk selalu ingin melakukan kebaikan, kebajikan, menyemaikan kemanfaatan untuk sesama. Semoga delapan kualitas yang menjadi bekal Werkudara itu bisa kita pelajari, hayati, resapi, dan aplikasikan dalam kehidupan.

Penulis : Agus Novel Mukholis (Guru MAN 2 Banyuwangi)

Tulisan ini sudah di muat / di terbit kan oleh Radar Banyuwangi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini